Pada dasarnya permukiman kumuh terdiri dari beberapa aspek penting, yaitu lahan, rumah, perumahan, komunitas, sarana dan prasarana dasar, yang terjalin dalam suatu sistem sosial, ekonomi dan budaya baik dalam suatu ekosistem lingkungan permukiman kumuh itu sendiri atau ekosistem kota. Permukiman kumuh harus dipandang secara utuh dan intégral dalam dimensi yang lebih luas. Menurut Suparno (2006), beberapa dimensi permukiman kumuh yang senantiasa harus mendapat perhatian serius adalah permasalahan lahan di perkotaan, permasalahan prasarana dan sarana dasar, permasalahan sosial ekonomi, permasalahan sosial budaya, permasalahan tata ruang kota, permasalahan aksesibilitas.
Sampai saat ini, pengertian tentang permukiman kumuh masih beragam, tergantung dari aspek mana para ahli memandang penyebab permasalahan kekumuhan suatu kawasan. Menurut Yudohusodo (1991), permukiman kumuh adalah suatu kawasan dengan bentuk hunian yang tidak berstruktur, tidak berpola—misalnya letak rumah dan jalannya tidak beraturan, tidak tersedianya fasilitas umum, prasarana dan sarana air bersih, MCK—bentuk fisiknya yang tidak layak misalnya secara reguler tiap tahun kebanjiran.
Menurut Budiharjo (1997), permukiman kumuh adalah lingkungan hunian yang kualitasnya sangat tidak layak huni, ciri-cirinya antara lain berada pada lahan yang tidak sesuai dengan peruntukan/tata ruang, kepadatan bangunan sangat tinggi dalam luasan yang sangat terbatas, rawan penyakit sosial dan penyakit lingkungan, serta kualitas bangunan yang sangat rendah, tidak terlayani prasarana lingkungan yang memadai dan membahayakan keberlangsungan kehidupan dan penghidupan penghuninya (Budiharjo: 1997).
Menurut UU No.1 Tahun 2011, permukiman kumuh adalah permukiman yang tidak layak huni karena ketidak teraturan bangunan, tingkat kepadatan bangunan yang tinggi, dan kualitas bangunan serta sarana dan prasarana yang tidak memenuhi syarat.
Menurut Suparlan (2002), dalam Syaiful. A (2002) bahwa permukiman dapat digolongkan sebagai permukiman kumuh karena, pertama, kondisi dari permukiman tersebut ditandai oleh bangunan rumah-rumah hunian yang dibangun secara semrawut dan memadati hampir setiap sudut permukiman, dimana setiap rumah dibangun diatas tanah tanpa halaman. Kedua, jalan-jalan yang ada diantara rumah-rumah seperti labirin, sempit dan berkelok-kelok, serta becek karena tergenang air limbah yang ada disaluran yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Ketiga, sampah berserakan dimana-mana, dengan udara yang pengap dan berbau busuk. Keempat, fasilitas umum kurang atau tidak memadai. Kelima, kondisi fisik hunian atau rumah pada umumnya mengungkapkan kemiskinan dan kekumuhan, karena tidak terawat dengan baik.
Poin penting yang dapat dipahami dari beberapa definisi dan pengertian tentang permukiman kumuh menurut beberapa ahli dan UU adalah bahwa “kekumuhan” harus ditangani dengan serius dengan strategi dan model penanganan yang baik dan tepat. Keberadaan kawasan permukiman kumuh diperkotaan dapat menjadi masalah serius bagi masyarakat maupun pemerintah, baik ditinjau dari aspek keruangan, estetika, lingkungan dan sosial. (Yudohusodo, 1995).
Beberapa faktor pendorong timbulnya permukiman kumuh di perkotaan adalah arus urbanisasi penduduk, kondisi sosial ekonomi masyarakat, kondisi sosial budaya masyarakat, karateristik fisik alami.
Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP), secara eksplisit dicantumkan bahwa salah satu ruang lingkup penyelenggaraan PKP adalah pencegahan dan peningkatan kualitas terhadap perumahan kumuh dan permukiman kumuh. Hal ini yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk kebijakan, strategi dan program oleh berbagai institusi pemerintah yang bertanggungjawab.
Membaca artikel dari Denpasar yang ditulis oleh TL OSP 7 Provinsi Bali Indro Budiono, dengan judul “LC, Model Alternatif Tangani dan Cegah Permukiman Kumuh Perkotaan” memberikan masukan bagi kita bahwa pengambil kebijakan wajib memiliki strategi dalam penanganan kumuh berdasarkan kajian dan analisis tajam dan baik dengan mempertimbangkan berbagai faktor seperti kondisi wilayah, karakteristik penduduk, status lahan, kepadatan bangunan, tingkat kekumuhan, kesesuaian dengan tata ruang dan faktor lain yang mendukung agar strategi dan kebijakan yang diambil melahirkan “pembangunan yang membahagiakan”.
Ada beberapa model yang dapat dipergunakan sebagai alternatif dalam menangani masalah permukiman kumuh di perkotaan antara lain, pertama, Model Land Sharing I. Model land sharing adalah penataan ulang di atas lahan dengan tingkat kepemilikan masyarakat cukup tinggi. Dalam penataan tersebut, masyarakat akan mendapatkan kembali lahannya dengan luasan yang sama sebagaimana yang selama ini dimiliki/dihuni secara sah, dengan memperhitungkan kebutuhan untuk prasarana umum (jalan, saluran). Beberapa syarat untuk penanganan yang akan dilakukan, antara lain, (1) tingkat pemilikan/penghunian secara sah (mempunyai bukti pemilikan/penguasaan atas lahan yang ditempatinya) cukup tinggi dengan luasan yang terbatas, (2) tingkat kekumuhan tinggi, dengan ketersediaan lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana dan sarana dasar, (3) tata letak bangunan tidak berpola.
Kedua, Model Land Sharing II. Menurut Angel dan Boonyabancha (1988), land sharing merupakan proses sharing lahan, terjadi dengan kondisi (1) lahan dimiliki oleh satu orang/instansi, (2) Lahan yang dulunya dalam keadaan kosong diokupasi/dihuni secara liar oleh sekelompok orang, (3) lahan mau digunakan kembali oleh pemilik dengan konsekuensi membagi lahan menjadi dua—sebagian besar untuk pemilik lahan dan sisanya untuk pemukim liar, (4) keputusan bersama/atas persetujuan dua belah pihak, dan (5) masyarakat mau berperan aktif dalam proses tersebut—ikut serta dalam memberikan ide/pemikiran.
Hal ini bisa diterapkan di Indonesia, dimana banyak lahan milik pemerintah (kebanyakan di tepian sungai, areal PTPN atau rel kereta api) biasanya dihuni secara liar oleh masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) dengan membangun Rusunawa, tentunya dengan pengawasan yang ketat dan kontinyu agar tidak terjadi penyelewengan pengguna.
Ketiga, Model Land Readjusment. Menurut Doebele (1982), land-readjustment adalah proses penataan lahan kembali, dilaksanakan dengan kondisi (1) lahan dimiliki oleh beberapa orang pada satu lokasi, biasanya merupakan lahan pertanian yang diperjual belikan secara acak, (2) lahan kemudian dibangun/dihuni oleh pemilik, biasanya bentuk lahan tidak beraturan atau kurang sarana prasarana seperti jalan lingkungan, taman dan pedestrian, (3) pemilik ingin menata lahan untuk meningkatkan kualitas permukiman dan harga lahan, (4) pengaturan lahan secara keseluruhan disesuaikan dengan proporsi 70%-30%, yaitu 70 untuk pemilik dan 30 untuk fasilitas (jalan dan taman), (5) dilakukan bersama-sama dengan persetujuan semua pihak.
Proses ini dapat dilakukan pada hunian-hunian kampung di Indonesia agar bentuk lahan tertata serta memudahkan akses kendaraan. Selain itu proses ini dimaksudkan agar masyarakat memiliki hidup yang sehat, aman dan bebas kumuh. Proses land readjusment banyak dilakukan di Bali, menurut beberpa penelitian menunjukkan bahwa hal ini dapat dilaksanakan lebih dikarenakan warganya bisa berkompromi agar mengiklaskan sebagian lahan untuk di bangun jalan bersama.
Keempat, Model Konsolidasi Lahan (Land Consolidation). Konsolidasi lahan adalah bentuk kegiatan mengenai pengelolaan tata guna lahan dengan cara pengaturan kembali penggunaan lahan dan penguasaan bidang-bidang tanah. Sasaran dari konsolidasi lahan itu sendiri adalah penataan kembali penggunaan dan penguasaan tanah pada suatu kawasan yang kondisinya dinilai kurang memenuhi syarat untuk menjadi kawasan yang lebih baik (Indra,2012).
Konsolidasi lahan merupakan suatu kegiatan terpadu menata (kembali) suatu wilayah yang tidak teratur menjadi teratur, lengkap dengan prasarana dan kemudahan yang diperlukan, agar tercapai penggunaan tanah / lahan secara optimal yang pada prinsipnya dilaksanakan atas swadaya masyarakat sendiri. Konsolidasi lahan juga merupakan suatu sistem pengembangan lahan inkonvensional yang saat ini telah diterapkan di Indonesia, antara lain, Denpasar, Bandung, Palu, Kendari dan beberapa kota lain.
Pada prinsipnya secara konseptual konsolidasi lahan kota mengandung tujuan: (1) menggabungkan secara sistematis lahan yang berpencar-pencar dan tidak teratur disesuaikan dengan tata ruang, (2) mendistribusikan lahan yang telah ada dikonsolidasikan kepada pemilik lahan secara proporsional, (3) mengatur bentuk dan letak persil kepemilikan, (4) meningkatkan nilai ekonomis melalui pengadaan prasarana dan sarana lingkungan yang memadai di atas lahan yang disumbangkan oleh pemilik.
Prinsip dasar konsolidasi lahan adalah (1) kegiatan konsolidasi lahan membiayai dirinya sendiri, (2) adanya land polling yang juga merupakan ciri khas konsolidasi lahan, (3) hak atas tanah sebelum dan sesudah konsolidasi tidak berubah menjadi lebih tinggi atau lebih rendah, (4) melibatkan peran serta secara aktif para pemilik tanah, (5) tanah yang diberikan kembali pada pemilik mempunyai nilai yang lebih tinggi dari pada sebelum konsolidasi tanah.
Kelima, Model Resettlement. Menurut Johara T.J. (1999). Resetlement atau permukiman kembali pada umumnya dilakukan melalui program transmigrasi yaitu perpindahan penduduk (migrasi) dari suatu daerah yang rapat penduduknya umumnya di Pulau Jawa menuju daerah yang masih jarang penduduknya biasanya terdapat diluar Pulau Jawa dengan tujuan untuk mendapatkan kehidupan yang lebih baik dan diharapkan dapat meningkatkan integrasi nasional dalam ekonomi dan sosial.
Resettlement atau pemindahan penduduk pada suatu kawasan yang khusus disediakan. Pemindahan penduduk biasanya memakan waktu dan biaya sosial yang cukup besar, termasuk kemungkinan tumbuhnya kerusuhan atau keresahan masyarakat. Pemindahan ini apabila permukiman berada pada kawasan fungsional yang akan/perlu direvitalisasi sehingga memberikan nilai ekonomi bagi pemerintah kabupaten/kota.
Keenam, Model Pembangunan Rumah Susun. Pembangunan rumah susun merupakan suatu model penanganan permukiman kumuh perkotaan dengan mengubah kondisi lingkungan permukiman yang sangat padat penduduknya dan dinilai tidak memenuhi syarat lagi sebagai tempat hunian yang layak.
Cara yang dilakukan dalam pembangunan rumah susun adalah dengan memperkecil lahan untuk perumahan tetapi dengan meningkatkan luas lantai. Lahan sisa (residual land) dimanfaatkan untuk penempatan fungsi perkotaan produktif misalnya komersial, perkantoran atau pusat hiburan dan penempatan prasarana lingkungan (jalan dan utilitas umum) dan sarana lingkungan (fasilitas sosial dan fasilitas umum). Rumah susun merupakan sebagai suatu bangunan rumah bertingkat yang distrukturkan secara fungsional dalam arah horizontal dan vertikal terdiri atas satuan atau unit dengan batasan yang jelas baik ukuran maupun luasnya.
Pembangunan kembali pada kawasan permukiman kumuh secara vertikal maksimal empat lantai dengan maksud sebagai berikut: supaya dapat menampung seluruh penghuni, harga tanah di pusat kota relatif tinggi, sebagian tanah digunakan untuk kebutuhan sosial, sebagian tanah dijual kepada pihak swasta atau pemerintah guna memperkecil biaya pembangunan untuk meringankan harga sewa atau cicilan, sebagian tanah diserahkan pada pemerintah untuk membangun infrastruktur dan fasilitas sosial lainnya sebagai pendukung kawasan.
Ketujuh, Model Program Perbaikan Kampung atau Kampung Improvement Program (KIP). KIP merupakan suatu pola pembangunan kampung yang didasarkan pada partisipasi masyarakat dalam meningkatkan kualitas lingkungan dan pemenuhan kebutuhannya. Program ini mempunyai prinsip universal yang berlaku dimana-mana yakni memberdayakan dan menjadikan warga sebagai penentu dan pemanfaat sumber daya kota guna memperbaiki taraf hidup dan kemampuan untuk maju. Prinsip dari program perbaikan kampung adalah perbaikan lingkungan kampung-kampung kumuh di pusat kota yang berada di atas tanah milik masyarakat yang mempunyai kepadatan tinggi.
Menurut Direktorat Cipta Karya, Program Pembangunan Perumahan dan Permukiman, (1998). Ciri-ciri kondisi kawasan yang dapat diterapkan program perbaikan kampung: (1) berada pada kawasan legal dan sesuai dengan Rencana Tata Ruang (RTR), (2) tingkat kepadatan tinggi, tetapi masih dalam batas kewajaran, (3) kualitas Pembangunan Sarana Dasar Pekerjaan Umum (PSDPU) langka dan terbatas, (4) belum perlu tindakan penataan menyeluruh dan resettlement, (5) dampak permasalahan bersifat lokal.
Analisis Model Penanganan Permukiman Kumuh
Model penanganan permukiman kumuh dapat dilakukan dengan mempertimbangkan kondisi; status tanah, kepadatan bangunan, tingkat kekumuhan , kesesuaian dengan Rencana Ulang Tata Ruang (RUTR), sehingga model penanganan yang ada adalah, pertama, permukiman di atas tanah ilegal dengan kondisi sebagai berikut: (1) tingkat kekumuhan yang tinggi, (2) penggunaan tata guna tanah yang tidak sesuai RUTR. Pada kondisi ini maka model penanganan yang tepat adalah peremajaan kota. Beberapa alternatif yang dapat dipakai sebagai bentuk peremajaan kota adalah pemindahan penduduk (resettlement), dan pembangunan perumahan vertikal (rumah susun).
Kedua, permukiman kumuh di atas tanah legal dengan kepadatan tinggi. Kondisi ini dapat diatasi dengan model penanganan (1) Land Sharing, yaitu dilakukan pada kondisi yang luasan tanahnya memungkinkan. Para pemegang hak atas tanah, merelakan sebagian tanahnya untuk diatur, misalnya dipakai untuk fasilitas lingkungan atau fasilitas umum untuk memenuhi kelayakan suatu kawasan. (2) Konsolidasi Lahan, adalah suatu metoda dengan pembangunan yang didasari oleh kebijaksanaan pengaturan penguasaan tanah, penyesuaian penggunaan tanah dengan rencana tata guna tanah atau tata ruang dan pengadaan tanah untuk kepentingan pembangunan serta peningkatan kualitas hidup atau pemeliharaan sumber daya alam. Land Consolidation berarti penataan menyeluruh pada lahan yang peruntukannya masih sesuai dengan RUTR. Land Consolidation dilakukan pada kondisi-kondisi: (1) perkembangan permukiman tidak terkendali, (2) tingkat kepemilikan lahan tinggi, (3) tingkat kekumuhan tinggi, (4) kecenderungan perkembangan ke arah fungsi lahan yang lebih potensial, (5) masyarakat dapat dikondisikan melalui proses dari bawah (bottom-up).
Ketiga, permukiman kumuh di atas tanah legal yang tidak padat (tidak terlalu kumuh): KIP. Prinsip dasar dari perbaikan kampung di lakukan adalah perbaikan lingkungan pada kampung-kampung kumuh di pusat kota yang berada di atas tanah milik masyarakat yang mempunyai kepadatan tinggi.
Keempat, permukiman kumuh di atas tanah legal yang tidak padat. Land Adjusment dilakukan pada permukiman kumuh yang tidak terlalu padat. Pemilik lahan merelakan sebahagian lahannya untuk untuk diatur, dibangun sarana dan prasarana dasar agar lingkungan lebih tertata dan dipakai untuk fasilitas lingkungan atau fasilitas umum untuk memenuhi kelayakan suatu kawasan permukiman.
Agar penanganan permukiman kumuh dapat dilaksanakan dengan baik maka model penanganan permukiman kumuh wajib berdasarkan pada analisis yang kuat dengan memperhatikan faktor-faktor seperti kondisi wilayah, karakteristik penduduk, status lahan, kepadatan bangunan, tingkat kekumuhan, kesesuaian dengan tata ruang dan faktor lain yang mendukung dan tentunya wajib didukung data yang valid baik data primer maupun skunder dengan memperhatikan sisi efektivitas, efisiensi, kecukupan, keadilan, responsivitas dan ketepatan sasaran.
Semoga bermanfaat. [Sumut]