Sosiologi Covid 19

Keadaan sepertinya memang semakin genting. Pada hari tulisan ini dibuat, yaitu Sabtu 18 Juli 2020, data secara nasional menunjukkan bahwa dalam rentang waktu 4,5 bulan (139 hari), jumlah yang positif terinfeksi Covid-19 mencapai 84.882 orang, meninggal 4.016 jiwa. Jumlah ini sudah melampau China, padahal kasus Covid-19 di China telah mewabah selama tujuh bulanan. Dengan data nasional seperti itu maka berarti setiap hari ada 610 orang yang terinfeksi dan 28 yang meninggal karena virus corona. Di Provinsi Aceh, jumlah orang yang positif Covid-19 juga terus menunjukkan peningkatan setiap hari.

Angka kematian pun sudah menunjukkan angka 6,2% dari jumlah orang yang terinfeksi (9 dari 146 yang positif). Memang ada yang sembuh yaitu sebanyak 68 orang, namun jika keadaan tak tertanggulangi maka “dalam dua bulan ke depan Aceh akan babak belur dan kapasitas tempat rawat pasien akan overload.” Hal itu diucapkan oleh Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Aceh Dr dr Safrizal Rahman dalam WEBMINAR (kerjasama FAMe dengan UNICEF dengan topic “Hal-hal yang belum diketahui orang mengenai COVID-19” pada Jumat (17/7) dua hari lalu di Banda Aceh. Frasa “babak belur” mungkin terlalu berlebihan, namun ada baiknya juga statemen itu diperlakukan sebagai upaya Ketua IDI itu membangun kewaspadaan kita bersama dalam memerangi corona tersebut. Mari kita tidak melihat angka-angka di atas sebagai statistik semata, melainkan sebagai angka kehidupan seseorang, beberapa orang, seterusnya puluhan, ratusan, ribuan, ratusan ribu, dan jutaan orang. Saat ini angka itu adalah tentang mereka, tentang orang lain, tetapi suatu saat bisa tentang kita, kita sendiri dan orang-orang yang kita sayangi.

Upaya-upaya hukum sudah dilakukan oleh pemerintah dalam menanggulangi virus ini, termasuk dalam bentuk UU. Di tingkat provinsi, ada peraturan dan surat edaran gubernur. Di tingkat kabupaten dan kota, ada peraturan dan surat edaran bupati dan wali kota. Di Banda Aceh, pernah ada pemberlakuan “jam malam” oleh Pemerintah Aceh dan kemudian ada Perwal tentang masker dan jam operasi mal, café, restoran, dan warung kopi. Razia-razia masker dilakukan. Setiap hari, dinas infokom juga melakukan imbauan melalui mobil keliling di berbagai tempat di Banda Aceh. Pendekatan yang bersifat sosiologis-religius pun dilakukan, termasuk melalui dukungan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh. Lalu, ternyata, tingkat kepatuhan masyarakat terhadap protokol kesehatan (prokes) tidak juga meningkat.

Di tengah-tengah masyarakat, saya pernah dengar langsung, masih ada yang menganggap virus itu tidak pernah ada sebagaimana yang disebut-sebut keberadaannya selama ini dengan bentuk seperti granat berduri. Masih ada yang menganggap bahwa virus corona hanya ciptaan elite pemerintahan dan atau dibuat oleh orang Yahudi untuk menghancurkan Islam. Juga ada yang berperilaku tidak jujur, misalnya bahwa seseorang baru saja datang dari daerah zona merah, atau bahwa ada anggota keluarganya baru tiba dari zona yang sama. Ada juga yang tidak jujur tentang kontak-kontak fisik yang pernah dilakukan dengan orang yang terinfeksi corona. Informasi-informasi yang seharusnya diberikan kepada dokter, ada yang ternyata disembunyikan. Warga menganggap corona sebagai aib sehingga tak ingin ada diketahui oleh orang lain. Dengan cara pandang semacam itu, maka mereka pun melakukan kegiatan-kegiatan tanpa mengindahkan protokol kesehatan (prokes). Lalu, apakah yang disebut protokol kesehatan itu terlalu rumit? Sama sekali tidak, bahkan juga tidak berbiaya mahal. Cuci tangan, pakai masker (berharga sekitar Rp10.000), jaga jarak, ini adalah tiga protokol utama yang semestinya mudah saja bagi setiap orang melakukannya. Jika kemudian jaga jarak terasa sulit, maka masker menjadi pelindung, dan usahakan untuk tidak bersentuhan. Jika kurang sehat, maka beraktifitas saja di rumah. Jika harus tetap bepergian, maka kembali kepada tiga protokol utama tadi. “Simpel banget,” kata anak zaman sekarang. Nyatanya, persentase warga masyarakat yang patuh kepada prokes itu sangat rendah, terutama memakai masker. Di meunasah dan masjid, jumlah orang yang memakai masker dapat dihitung dengan jari, demikian juga di café atau warkop.

Belum lagi tentang jaga jarak untuk jangka waktu relatif lama, banyak yang tidak peduli. Sekitar dua bulan lalu saya menulis sebuah artikel tentang “thinking error” yang mengulas kesalahan-kesalahan berpikir sejumlah orang mengenai virus. Harapan saya saat itu, “thinking error” melandai dan berkurang, ternyata masih tidak hilang dalam relasi sosial sehari-hari. Saya berharap, misalnya, pemulangan paksa jenazah positif Covid-19 dari rumah sakit, tidak lagi dilakukan. Tetapi ternyata di berbagai tempat di Indonesia, termasuk di Aceh, masih juga terjadi. Bahkan sebuah video menunjukkan kejadian yang sangat tragis, jenazah yang sudah tiba di pemakaman, direbut paksa dari satgas Covid-19 oleh puluhan anggota keluarga sehingga kerenda jenazah (semoga jenazah tak ada di dalamnya) terpelanting atau dibanting sedemikian rupa. Situasi di lokasi pemakaman sudah seperti demo anarkhis politik saat pemilu. Lalu ada rapid test. Juga ada swab, bahkan dilakukan secara gratis namun ada yang kemudian memercayai bahwa saat swab dilakukan, petugas akan memasukkan virus pada alat yang digunakan. Subhanallah. Tragisnya, “thinking error” itu juga terdapat pada orang-orang yang disebut “orang sekolahan” (berpendidikan), pada satu dua teungku dan ustaz, dosen, guru, dan birokrat. Di sebuah klinik, seorang dokter muda berkata kepada saya, kurang lebih, “Covid-19 itu adalah proyek orang-orang rumah sakit.

Jika misalnya bapak terkena flu dan bersin datang ke rumah sakit, pasti bapak dikatakan terkena Covid, tak akan dilepas/dibiarkan pulang lagi!” kata dokter tersebut. Dalam WEBINAR yang saya sebutkan di atas pun, muncul sejumlah pertanyaan misalnya benar-tidak rumah sakit “memproyekkan” virus tersebut. Masalah dengan pertanyaan itu dan pertanyaan lain yang semacam dengan itu adalah munculnya “keruntuhan kepercayaan” antar berbagai kalangan. Sisi psikologis dokter dan para perawat misalnya, lama-lama, bisa terpengaruh jika terus mendengar tuduhan fitnah kepada mereka dan berkata “Percaya kami serius dalam menangani jika kami tak didengar, tak dihormati, tak dipatuhi, padahal nyawa kami dan keluarga kami pertaruhkan.” Berikutnya, masalah dengan “thinking error” tersebut adalah pemerintah sendiri kemudian yang merasa tak lagi dipercayai, tak lagi memiliki kemampuan mengubah keadaan ke arah yang lebih baik. Lalu, para ulama atau uztad juga kehilangan harapan dan berkata, “Percuma meminta masyarakat untuk berupaya sekeras mungkin dengan berdoa kepada Allah, dengan mematuhi prokes, jika apa yang kami sarankan tidak pernah mereka dengar.” Hal-hal yang saya tulis di atas bukanlah narasi imajinatif-negatif sekaligus destruktif, melainkan fakta. Tetapi juga ada prediksi, berupa kekhawatiran hilangnya sikap saling percaya antar berbagai elemen di dalam struktur kehidupan sosial politik kita. Jika ini yang terjadi, maka masyarakat akan merasakan dampak yang luar biasa beratnya. Semua menjadi tak terurus, atau semuanya harus diurus sendiri. Tak ada lagi rapid test atau swab, tak ada lagi pemularasan jenazah di rumah sakit. Silakan siapa pun pergi kemana pun dan melakukan apa pun. Lalu ada “chaos.” Jadi, mari kita cegah. Mari saling bergandeng tangan.

Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh

Sumber : ajnn.net